Senin, 23 Juli 2012

Sulitnya Mencari Persepakbola Berkualitas di Indonesia


Sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang paling digemari di dunia ini, bahkan menjadi salah satu industri paling menjanjikan di dataran Eropa. Indonesia juga termasuk negara yang memiliki peminat akan sepakbola yang cukup besar. Namun sangat disayangkan tingginya animo masyarakat tidak dibarengi dengan adanya kualitas sepakbola yang mumpuni baik dari klub profesional di Indonesia maupun tim nasional.

Indonesia memang lebih terkenal di dunia olahraga akan kekuatannya di cabang bulu tangkis. Tetapi prestasi di cabang sepakbola pada masa lalu juga tidak dapat dikatakan buruk. Pada masa itu tim merah-putih mampu menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan, meskipun di level Asia Tenggara.

Tapi lihatlah prestasi tim nasional Indonesia pada masa sekarang. Kekalahan demi kekalahan seakan lekat dengan
image tim nasional. Lebih parah bahkan ada beberapa masyarakat Indonesia sendiri yang pesimis dan bahkan berkata bahwa Indonesia akan mengalami kekalahan memalukan apabila bertemu dengan tim-tim favorit.


Ada beberapa faktor yang (mungkin) menjadi penyebab kemunduran Indonesia dalam cabang sepakbola. Berikut adalah beberapa diantaranya.


1. Sepakbola Kurang Bisa Menjamin Masa Depan

Hanif Sjahbandi, pemain muda Indonesia saat di Manchester United Soccer School tahun 2010 silam.

Sumberdaya yang cukup merupakan salah satu faktor yang dimiliki untuk mendapatkan sebuah skuad yang kompetitif. Hal ini yang dirasa agak kurang di Indonesia. Di saat negara-negara tetangga seperti Malaysia mulai sadar akan pentingnya pembinaan usia muda, di Indonesia sendiri hal ini masih 'terabaikan'.

Belum lagi faktor orang tua si (calon) pemain yang menganggap sepakbola tidak dapat menjamin masa depan sang anak. Kebanyakan dari mereka hanya menganggap sepakbola sebagai sebuah 'permainan' yang lebih kepada penyaluran hobi, bukan sebagai bakat yang bisa diasah untuk mencari nafkah. Hal ini (mungkin) karena kehidupan glamor pada pesepakbola lokal kurang terlalu di ekspos bila dibandingkan dengan pekerjaan lain seperti artis maupun pekerja kantoran.



2. Para Pemain 'Menghancurkan' Diri Mereka Sendiri

Wayne Rooney
Selain karena faktor sulit mendapatkan izin dari orang tua para (calon) pemain, faktor lainnya yang menghambat untuk mendapatkan pemain berkualitas ialah karena kebanyakan (calon) pemain itu malah 'menghancurkan' diri mereka sendiri sebelum mereka menjadi pemain profesional.

Kebiasaan merokok misalnya, apabila dilakukan ketika sudah menjadi pemain profesional rasanya tidak begitu berpengaruh karena tubuh mereka telah terbiasa menjalani kehidupan sebagai seorang atlet. Namun apabila pada level junior mereka sudah mulai mencoba merokok, apalagi sampai ke taraf kecanduan maka akan menghambat pertumbuhan mereka yang masih dalam tahap pertumbuhan untuk mendapatkan tubuh yang ideal sebagai seorang atlet.


Ambil contoh mega-bintang Inggris ; David Beckham yang semasa mudanya sangat menjaga diri dan hanya fokus dalam berlatih sepakbola dibandingkan menghabiskan waktu bersenang-senang seperti remaja seusianya.



3. Minim Sosok Idola


Tidak seperti cabang bulu tangkis yang mana Indonesia memiliki sosok idola yang dikenal secara internasional pada diri seorang Taufik Hidayat, cabang sepakbola Indonesia belum lah memiliki sosok idola yang bisa memacu para penontonnya untuk ambil bagian dalam kegiatan sepakbola. Coba lihat di beberapa negara besar yang memiliki legenda di cabang sepakbola, rata-rata para pemain yang sedang terkenal sekarang berawal dari para anak-anak yang terinspirasi dari sosok sang legenda itu sendiri.

Bambang Pamunkas bisa dibilang sebagai salah satu contoh pemain Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai idola, namun dengan umur yang kian uzur dan minimnya pemberitaan dikala masa jayanya membuat sinar kebintangan BP kurang bisa 'membujuk' masyarakat untuk mencintai sepakbola. Namun untuk masa sekarang harapan untuk mengajak generasi muda untuk menggeluti dunia sepakbola tampaknya ada di pundak seorang Andik Vermansyah, bintang muda Indonesia yang namanya tengah naik daun.



4. Transfer Pemain (Tidak) Kompetitif

Abaikan dulu dualisme yang sedang terjadi di kubu PSSI. Sekarang kalau melihat dari sisi transfer pemain kebijakan yang terjadi di Liga Indonesia bisa dibilang kurang mendukung pengembangan pemain muda. Kenapa demikian?

Bagi yang belum megetahui sistem perpindahan pemain di Indonesia berbeda dengan sistem yang berlaku di Eropa. Kalau di Eropa kita melihat klub-klub rela menggelontorkan dana hingga berjuta-juta untuk mengikat seorang pemain untuk kontrak jangka panjang, maka di Indonesia para pemain (hampir) bebas menentukan ia akan bermain dimana dan tidak ada yang namanya kontrak jangka panjang karena mereka memang hanya direkrut untuk satu musim kompetisi.


Hal ini dirasa akan menghambat perkembangan pemain muda. Mereka jadi 'kurang' terbiasa dengan atmosfir persaingan untuk memperebutkan posisi reguler di tim karena mereka dapat saja pindah ke klub lain di musim berikutnya. Kurangnya persaingan sehat ini juga dapat menyebabkan perkembangan si pemain menjadi tidak maksimal. Dampak lainnya ialah sang pemain tidak memiliki gaya bermain yang benar-benar khas, hal ini dapat disebabkan karena ia harus bisa segera beradaptasi dengan pola permainan dan rekan-rekan yang hampir setiap musim berbeda dengan musim sebelumnya.



5. Program Usia Muda Yang Kurang Tertata Baik dan Terekspos

Sekolah Sepak Bola (SBB) Putra Muara Cunda dari Aceh sebagai wakil Indonesia di U-12 Danone Nations Cup 2012

Pembinaan usia muda menjadi salah satu elemen penting yang dibutuhkan untuk mendapatkan skuad yang mumpuni. Namun di Indonesia program usia muda ini lagi-lagi (terkadang) di salah tafsirkan sebagai tempat penyaluran hobi daripada tempat untuk menempa seorang anak menjadi pemain profesional. Sesungguhnya apabila dilihat dari level junior, Indonesia memiliki banyak pemain berbakat. Sebut saja tim Milan Camp Indonesia yang tahun lalu sukses menjadi kampiun dengan mengalahkan tim muda AC Milan di partai final.

Namun karena minimnya pemberitahuan di media tentang adanya Sekolah Sepak Bola (SSB) dan segala macam prestasinya membuat bakat-bakat yang seharusnya terjaring menjadi tidak terjaring. Bandingkan dengan kompetisi di Spanyol yang memasukkan tim muda ke dalam kompetisi sebenarnya (meski berada jauh di bawah level La Liga) dan program Liga Primavera di Italia yang khusus diikuti tim remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar